Potensi terjadinya penundaan Pilkada hingga 2017 pada sejumlah daerah di Sumbar masih tetap ada. Terutama Pilkada yang hanya diikuti dua pasangan calon atau yang disebut juga dengan istilah head to head. Pilkada yang hanya diikuti dua pasangan calon adalah Pilkada Kabupaten Padang Pariaman (Ali Mukhni-Suhatribur dan Alfikri Mukhlis-Yulius Danil), Pilkada Kabupaten Dharmasraya (Adi Gunawan-Jhonson Putra dan Sutan Riska Tuanku Kerajaan-Amrizal Dt Rajo Medan), Pilkada Kabupaten Pasaman (Benny Utama-Daniel dan Yusuf Lubis-Atos Pratama). Berikutnya Kabupaten Agam (Indra Catri-Trinda Farhan dan Irwan Fikri-Chairunnas). Pilkada Sumbar juga hanya dua calon, yakni Irwan Prayitno-Nasrul Abit dan Muslim Kasim-Fauzi Bahar.
Mengapa Pilkada di daerah-daerah yang hanya dua pasangan calon yang mendaftar masih berpotensi batal penyelengaraannya di Pilkada serentak 2015? Pertama, karena syarat-syarat utama tidak lengkap. Kedua, karena hasil pemeriksaan kesehatan menyatakan kesehatan si calon tidak memungkinkan untuk mengikuti Pilkada atau pun karena alasan psikologis. Ketiga, karena tiba-tiba si calon menyatakan mundur begitu saja. Bisa jadi setelah menghitung-hitung peluang menang sangat kecil dan dana banyak terbuang pecuma. Sebelum penetapan calon oleh KPU, 24 Agustus 2015, tidak tertutup kemungkinan ada calon yang head-head menyatakan mundur. Jika itu yang terjadi, tentu hanya tinggal satu pasangan calon tunggal. Terpaksalah Pilkada di daerah itu diundur penyelenggaraannnya hingga tahun 2017.
Pengunduran penyelengaraan Pilkada hingga tahun 2017 pada daerah-daerah tertentu jelas sangat merugikan calon kuat, terutama calon incumbent. Daerah dan masyarakat juga sangat dirugikan. Pasalnya daerah itu selama dua tahun akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah. Sedangkan penjabat kepala daerah memiliki banyak keterbatasan. Puluhan jenis keputusan-keputusan strategis tidak bisa dieksekusi oleh penjabat kepala daerah, sebagaimana yang diatur oleh konstitusi. Akibatnya kebijakan-kebijakan strategis di daerah tersebut tidak dapat diputuskan oleh penjabat tersebut. Pembangunan dan gerak langkah pemerintah daerah jadi terkendala.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumulo juga menyatakan tidak ada sanksi hukum yang bisa dijatuhkan kepada calon yang mundur sehingga mengakibatkan penyelengaraan Pilkada terpaksa diundur hingga dua tahun berikutnya. Belum ada Undang-Undang yang mengatur soal sanksi hukum atas kandidat kepala daerah yang mundur dari pencalonan. Mendagri Tjahjo menyebut hanya sanksi sosial dari masyarakat terhadap calon yang mundur dan partai yang batal mengajukan calon.
Banyaknya daerah yang hanya dua calon kepala daerah mendaftar ke KPU patut menjadi kajian dan perhatian serius. Mengapa sampai banyak yang terjadi seperti. Apakah Undang-Undang atau aturan pilkadanya yang bermasalah, urusan parpol yang berbelit-belit atau posisi kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak terlalu mentereng lagi bagi masyarakat menyusul banyaknya kepala daerah yang meringkuk di penjara. Semuanya memberi andil sehinga caklon yang muncul menjadi sangat terbatas.
Soal aturan Pilkada, sebaiknya ke depan tidak adalagi pasal pembatasan bagi PNS, TNI, Polri dan anggota legislatif yang harus mundur dari jabatannya ketika yang bersangkutan mencalonkan diri sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah. Semestinya yang bersangkutan diwajibkan mundur setelah terpilih. Akibat aturan sekarang, sejumlah PNS yang memiliki bakat dan kemauan memjadi pemimpin di daerah, terhambat hasratnya dan akhirnya memilih konsentrasi menjadi PNS. Begitu pula anggota legislatif. Hatinya jadi kecut mencalonkan di Pilkada, karena harus mundur dari jabatan. **