Setiap kali memperingati Hari Pahlawan pada 10 November maka kenangan atas pertempuran Surabaya ditanggal yang sama pada 1945 akan kembali muncul dan pertempuran itu tidak bisa dilepaskan dengan sejumlah tokoh salah satunya Mohammad Mangoendiprojo.
Dikutip dari buku penerima gelar Pahlawan Nasional 2014 yang diterbitkan oleh Dewan Gelar dan Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan Republik Indonesia, Senin, Mohammad Mangoendiprojo lahir di Sragen 5 Januari 1905. Ia merupakan salah satu tokoh pejuang dan sekaligus pelaku pertempuran Surabaya bersama-sama dengan Bung Tomo dan tokoh pejuang lainnya.
Sebelum memasuki karir militer, Mohammad mengawali pekerjaannya sebagai pamong praja pada masa Hindia Belanda dengan jabatan sebagai asisten wedana (camat-red) di daerah Jombang, Jawa Timur.
Dunia militer dimasukinya pada masa pendudukan Jepang sebagai Daidancho Tentara Pembela Tanah Air di Buduran Sidoarjo. Pascaproklamasi kemerdekaan, Mohammad pernah menjabat sebagai bendahara Badan Keamanan Rakyat (BKR) Keresidenan Surabaya, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia (BPKNI) Keresidenan Surabaya.
Bersama Drg.Mustopo yang menjabat sebagai Ketua BKR Keresidenan Surabaya, Mohammad ikut mendesak Panglima Pertahanan Jawa Timur Jepang Jenderal Iwabe. Jepang, diminta untuk menyerahkan senjata dan kemudian senjata itu digunakan untuk menyerbu markas Kempetai dan menguasai obyek-obyek vital lainnya.
Ia juga memiliki andil yang besar dalam mengambil alih aset pribadi orang Belanda yang tersimpan di Bank Escompto senilai seratus juta gulden. Uang itu kemudian digunakan untuk perjuangan.
Kedatangan pasukan Inggris di bawah pimpinan Brigjen Mallaby di Surabaya pada 25 Oktober 1945 menyebabkan pecahnya pertempuran dengan dengan pihak Indonesia pada 28 Oktober hingga 29 Oktober 1945.
Pasukan Inggris terhindar dari kehancuran setelah diadakan perundingan antara Presiden Soekarno dan Mayor Jendral Hawthorn. Untuk menghentikan pertempuran secara menyeluruh dibentuk kontak biro. Mohammad Mangoendiprojo kemudian ditunjuk sebagai anggota kontak biro. Ia mewakili pihak Indonesia sementara Inggris diwakili oleh Brigjen Mallaby.
Dalam melakukan tugas sebagai anggota Kontak Biro, Mohammad akhirnya menjadi pelaku sekaligus saksi sejarah awal pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Untuk mencegah pasukan Inggris yang masih menduduki gedung Bank Internatio menembaki massa yang mengepung, ia memasuki gedung itu namun kemudian dijadikan sandera sementara Mallaby yang berada di luar gedung kemudian tewas.
Tewasnya Mallaby memicu pecahnya pertempuran mulai 10 November 1945 dan berlangsung sampai akhir bulan itu. Pada waktu berlangsung pertempuran para komandan pasukan membentuk Dewan Pertahanan RI Surabaya, dan Muhammad Mangoendiprojo sebagai ketuanya.
Ia kemudian pada 1946 diangkat menjadi Komandan Tentara Republik Indonesia (TRI) di Jawa Timur yang kemudian di masa mendatang menjadi Kodam Brawijaya. Dengan berpangkat Jenderal Mayor, Mohammad mengkoordinir divisi-divisi TKR yang berkedudukan di Madiun.
Setelah itu ia menjabat sebagai staf kementerian pertahanan dan pada 1948 kemudian menjadi anggota militer luar formasi dengan pangkat Kolonel Cadangan. Pada 1950 ia menjadi Bupati Ponorogo dan lima tahun kemudian menjadi Residen Lampung.
Peran Residen di Lampung tidak mudah, Mohammad Mangoendiprojo harus mengendalikan dan meredakan dampak psikologis para demobilisasi TNI yang disalurkan sebagai transmigran dengan membuka kehidupan baru sebagai petani. Menjelang akhir hayatnya, ayah dari Letjen Himawan Sutanto dan ayah mertua dari Jenderal Soesilo Soedarman itu sempat menjadi Ketua MPR tertua pada tahun 1988.
Mohammad Mangoendiprojo meninggal di Bandar Lampung pada 13 Desember 1988. Sebelum Presiden Joko Widodo atas nama pemerintah dan rakyat Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional, Mohammad Mangoendiprojo telah memiliki Bintang Mahaputera Pratama yang dianugerahkan pada 1986. © ANTARA 2014